Takut KDM: Cermin Ketimpangan Pola Asuh dalam Keluarga?
ilustrasi
Fenomena anak-anak yang tiba-tiba menangis atau ketakutan saat bertemu Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang viral di berbagai platform media sosial, mengundang keprihatinan sekaligus refleksi mendalam. Padahal, jika ditelusuri, Kang Dedi kerap tampil sebagai figur publik yang ramah, penuh empati, dan sering memberikan bantuan kepada masyarakat, termasuk anak-anak kecil. Namun mengapa ada anak-anak yang justru menangis histeris ketika didekati, bahkan sekadar disapa?Tentu saja ini bukan sekadar tentang KDM sebagai individu, tapi menjadi simbol dari fenomena yang lebih dalam,yakni krisis kelekatan emosional dan komunikasi yang hangat antara anak dan lingkungannya, terutama di dalam keluarga.
Ketakutan yang tidak rasional,lahir dari pola asuh?
Ketakutan anak-anak terhadap sosok seperti KDM, yang tidak menunjukkan ancaman secara langsung, menandakan adanya ketimpangan dalam cara anak memahami figur dewasa di sekitarnya. Bisa jadi, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang minim komunikasi hangat, terlalu sering diintimidasi secara verbal, atau terlalu akrab dengan ancaman seperti “awas nanti dipanggil polisi” atau “nanti dibawa Pak Dedi.”Cara orang tua menggunakan tokoh-tokoh publik sebagai alat ancaman terbukti merusak psikologis anak. Mereka tumbuh bukan dengan rasa hormat, tapi dengan rasa takut. Inilah bentuk pola asuh yang hanya fokus pada ketaatan sesaat, bukan pembentukan karakter jangka panjang.
Dalam Islam, keluarga memiliki fungsi tarbiyah (pendidikan) dan ta'dib (penanaman adab) yang sangat penting. Keluarga bukan hanya tempat tinggal fisik, tetapi juga tempat tumbuhnya emosi, nilai, dan kepribadian anak. Sejak dini, anak-anak perlu dikenalkan dengan cara berinteraksi yang sehat dengan sesama manusia, termasuk bagaimana memahami tokoh publik sebagai bagian dari masyarakat, bukan sebagai sosok menyeramkan.Keluarga seharusnya menciptakan ruang aman bagi anak-anak untuk bertanya, berekspresi, dan bersosialisasi tanpa rasa takut. Sayangnya, banyak rumah justru menjadi tempat pertama yang memperkenalkan anak pada ancaman, ketakutan, dan pengendalian berbasis hukuman.
Keluarga Nabi sebagai Role Model
Jika kita menengok kembali pada kehidupan Rasulullah, kita akan menemukan model keluarga yang penuh cinta dan penghormatan terhadap anak-anak. Rasulullah tidak pernah menanamkan rasa takut dalam mendidik. Beliau berbicara dengan lemah lembut, memeluk anak-anak, dan membiarkan mereka merasa nyaman di sekitarnya. Bahkan, Rasulullah bersabda:"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua."(HR. Ahmad dan Tirmidzi).Rasulullah memahami bahwa cinta lebih kuat dari ancaman dalam mendidik, dan bahwa hubungan yang hangat antara orang tua dan anak akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mengapa harus berhenti menakut-nakuti anak dengan sosok seperti KDM? Karena ketakutan itu akan membekas. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang cemas, tidak percaya diri, atau justru membenci figur otoritas. Sebaliknya, jika kita ingin menciptakan generasi yang berani, berakhlak, dan terbuka, maka mulai dari rumah, bangunlah komunikasi yang sehat, hindari ancaman, dan hadirkan keteladanan.KDM bukan masalahnya. Ia justru bisa menjadi cermin refleksi bagi kita: apakah anak-anak kita cukup aman secara emosional untuk berinteraksi dengan orang baru? Atau justru mereka sedang terluka oleh cara kita memperkenalkan dunia?
Anak-anak tidak seharusnya takut pada figur seperti Kang Dedi Mulyadi. Ketakutan itu bukan berasal dari 'beliau', tetapi dari cara keluarga membentuk cara pandang anak terhadap dunia di luar rumah. Sudah saatnya keluarga mengambil kembali fungsinya sebagai tempat tumbuh cinta, bukan tempat tumbuh trauma.Mari meneladani Rasulullah sebagai pendidik sejati. Karena dari rumah yang penuh kasih, akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga sehat jiwa dan akhlaknya.Wallahu a'lam bishowab.