Ramai Tepuk Sakinah, Sepi Memaknai Bimbingan Perkawinan
Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan dengan viralnya “Tepuk Sakinah”. Sebuah yel-yel sederhana yang diperkenalkan di program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) di sejumlah Kantor Urusan Agama (KUA). Ada yang menilai unik, ada pula yang menyindirnya kekanak-kanakan.
Komentar netizen cukup beragam. Ada yang berkata, “Sudah dewasa, kok disuruh tepuk-tepuk kayak TK.” Sebagian Gen Z merasa yel seperti itu tidak “relate” dengan gaya komunikasi mereka yang lebih suka reflektif dan elegan. Kritik lebih substantif menyebut, tepuk sederhana semacam itu bisa memberi kesan seolah pernikahan hanya perkara hafalan singkat, padahal realitas rumah tangga jauh lebih kompleks: mulai dari masalah keuangan, konflik psikologis, sampai isu kesetaraan.
Jika ditarik ke konteks lebih luas, kritik ini sebetulnya bisa dimaknai positif: publik sedang menuntut agar bimbingan perkawinan tidak jatuh sekadar menjadi “gimmick” seremonial.
Ice Breaking vs Substansi
Namun perlu diluruskan, Tepuk Sakinah hanyalah ice breaking, bukan substansi bimbingan perkawinan. Fungsinya semata-mata untuk mencairkan suasana, membangkitkan semangat, dan membuat peserta lebih rileks sebelum masuk ke materi serius.
Bimbingan perkawinan sejatinya adalah program intensif yang berjalan 12 jam (biasanya dibagi dalam dua hari). Di dalamnya, calon pengantin dibekali dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan penting:
- Hak dan kewajiban suami-istri.
- Strategi komunikasi efektif.
- Manajemen konflik rumah tangga.
- Pengelolaan keuangan keluarga.
- Pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
- Peran spiritualitas untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, rahmah.
Agar lebih jelas, mari lihat tabel berikut:
Aspek |
Tepuk Sakinah (Ice Breaking) |
Bimbingan Perkawinan (Substansi) |
Tujuan |
Mencairkan suasana, membangkitkan semangat |
Membekali calon pengantin dengan kesiapan lahir-batin |
Durasi |
Singkat (2–3 menit) |
Intensif (12 jam tatap muka / 2 hari) |
Metode |
Yel, gerakan ritmis, permainan |
Ceramah, diskusi, simulasi, studi kasus |
Isi |
Mnemonic sederhana tentang prinsip keluarga |
Hak & kewajiban suami-istri, manajemen konflik, komunikasi, ekonomi keluarga |
Efek yang Diharapkan |
Fokus peserta meningkat, suasana cair |
Pasangan siap menikah dan membangun keluarga harmonis |
Jangan Salah Kaprah
Melihat perbandingan ini, jelaslah bahwa viralnya Tepuk Sakinah tidak boleh membuat kita kehilangan fokus pada esensi program. Mengkritik metode boleh saja, tapi mengabaikan substansi adalah kekeliruan besar. Sama saja seperti menilai sebuah kuliah hanya dari permainan perkenalan di awal kelas, lalu melupakan isi materi yang sebenarnya.
Lebih jauh, kritik yang muncul bisa menjadi bahan refleksi. Bagaimana agar metode bimbingan perkawinan bisa lebih relatable bagi Gen Z dan generasi milenial? Bagaimana menciptakan inovasi pedagogis yang tetap kreatif tapi tidak mengaburkan kedalaman substansi? Pertanyaan-pertanyaan ini justru sehat untuk mendorong evaluasi dan perbaikan program.
Ingat Tujuan Utama
Pernikahan bukanlah perkara main-main. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia mencapai 516.344 kasus pada 2023. Sementara itu, data Ditjen Badilag Mahkamah Agung mencatat mayoritas perceraian disebabkan oleh pertengkaran terus-menerus (42%), diikuti oleh alasan ekonomi, dan ketidakharmonisan. Angka ini menegaskan bahwa kesiapan menikah tidak bisa dianggap sepele.
Kementerian Agama sendiri mencatat bahwa sejak 2017 hingga 2022, lebih dari 3 juta calon pengantin telah mengikuti program Bimbingan Perkawinan. Namun evaluasi juga menunjukkan bahwa sebagian peserta masih menganggap Bimwin sebagai formalitas administratif. Inilah mengapa metode kreatif seperti Tepuk Sakinah hadir untuk menarik perhatian dan mencairkan suasana.
Tetapi sekali lagi, substansi bimbingan perkawinan jauh lebih dalam dari sekadar yel-yel. Ia memberikan bekal ilmu, keterampilan, dan kesadaran agar pasangan tidak hanya siap menikah, tetapi juga siap membina rumah tangga dalam jangka panjang.
Tepuk Sakinah hanyalah pintu masuk. Substansi yang sesungguhnya adalah bimbingan perkawinan. Viralitasnya di media sosial seharusnya kita baca sebagai pengingat bahwa membangun keluarga sakinah tidak cukup dengan yel-yel, tapi butuh kesiapan yang matang.